Kamis, 27 November 2014

Aku tak mengira

Dulu semenjak hadirnya pintu yang terbuka lebar, kau menjadikan pintu itu sebagai pintu menuju kebahagiaan.
Kala itu semenjak ruang yang tersebar luas kau selalu mengisinya dengan berbagai macam gelikan kenyamanan.
Nyaman dalam keseharian, ke setiap putaran jam, bahkan pada ke setiap detik menitan. Ucap yang selalu terucap penuh kehormatan, selalu kau lakukan. Namun entah, semenjak kau kembali ke kotamu semua menjadi hambar terbiusi waktu.

Waktu yang selalu kau percantik, waktu yang selalu kau buat unik, menjadi keras bak keramik bebatuan. Manja yang terlihat dulu kau begitu manja, sekarang memanjakan dirimu sendiripun sepertinya aku tak melihatnya lagi. Janji yang meyakinkan diri menjadi satu-satunya dari milyaran insan rasanya pun telah memudar kembali. Bagaimana ini bisa terjadi? Kejadian demi kejadian yang menolak belakangi kemampuan diri. Menertawakan hati pada setiap harap yang terlangkahi. Salahkah jika aku menjadi mimpi dari setiap nyata yang kau hidupi? Bukankah kau yang memaksakan diri untuk tetap bertahan pada setiap lumpur yang mereka taburi? Ya, aku tahu itu dulu. Dulu semenjak waktu belum sekeruh hari ini. Dulu seketika kau menyampingi diri dengan hangatnya peluh kasihmu. Aku sadari itu dulu. Tapi kau tahu bukan, semua yang ku sebut-sebut dulu itu kau yang ciptakan sendiri. Kau yang melakukannya sendiri. Aku mengerti, bahwa hidup diantara mereka yang jauh lebih baik dari apa yang kita miliki itu tidaklah mudah. Akupun juga menyadari, jikala kita di kondisikan dalam keadaan yang begitu memaksakan diri untuk melupakan apa yang harus kita pedulikan itu begitu mudah kita laksanakan. Namun setidaknya kau juga harus memahami, bahwa dalam sibuknya rutinitas, dalam sempurnanya bermacam makhluk dunia,semua masih erat hubungannya dengan dasar pada apa yang kau ingin lakukan. Ingatkah kau ketika kau ucap “Aku tak ingin main-main. Kau harus sabar disini, aku akan pulang ! aku pasti pulang. Jagalah janji setiaku dalam kejauhan nanti. Aku menunggu kita.”  Tak ingatkah kau dengan suara lantang pada  masa itu? Tak ingatkah? Untuk kata yang terucap ingkar, aku tak menyangka. Untuk janji yang kau sematkan dengan dusta, aku tak pernah mengira.

Jumat, 21 November 2014

Tak Ikhlasnya Keputusan

Diary ..
Aku tak tahu harus memulai cerita darimana. Yang selalu ku ingat, sejak itu tanggal bulan ke tiga  lebih 3 hari dari 5 november 2013. Tepatnya sabtu malam. Aku dan nya bertemu di tempat luasan air.

Aku dan nya seakan orang yang tak pernah saling mengenal. Sama menatap namun pandangan seolah sedang mencuri keasingan. Merasa asing dengan kata kita. Kau benar diary.

Sesekali mata saling berhadapan, Dehem kecut yang ia ciptakan kali ini.
Aku tak mampu menahan gigitan debar hati dalam rasaku. Aku berusaha melemparkan suasana kacau pada desikan angin siup. Begitu juga dia. Dia menjauhkan suasana terencanakannya dengan penuh rasa tak bersalah.

“Lihat aku !“ suruan bengis yang ia minta padaku. Namun aku tetap tak berani melihat matanya yang penuh rencana.
“Aku ingin sendiri”
Kalimat singkat dari suara kebal seorang lelaki yang mengaku cinta. Awalnya, benar ku tak tahu arti sikap dinginnya pada akhir ini. Aku selalu menebak-nebak kejadian teromantis yang akan dia ciptakan hari ini, namun  kenapa ini terasa begitu menyakitkan.
**
“itu baik untukmu?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“aku tak tahu ini baik atau tidak. Yang jelas untuk saat ini, ini baik untukku.” Tatapan kilas dari mata penuh harapnya.
Jujur, aku mulai tak mengerti setiap kata yang ia ucapkan. Hingga akhirnya pertanyaan tak terduga aku tanyakan “itu berarti?”
“Kita putus”
suara pelan dengan arti yang tak sederhana. Menaruh gelengan kepala yang secara tegas berkata tidak. Namun jelas kau telah memaksa tangan untuk tetap berlambai. Menunjuk tepik untuk segera berbalik dan menghilang.
Bagaimana bisa? seorang yang begitu benci melihat perempuannya menangis justru menjadi penyebab utama mengapa perempuan itu menangis. Bukankah ini sangat lucu diary?  Entahlah L

Jumat, 14 November 2014

Alasan

1.      Aku senang kau memberi kejelasan. Setidaknya aku sudah mengetahui sibukmu menjauhiku. Andai kau katakan semuanya sejak awal. sejak hati sedang mengira ira apa yang kau lakukan. Mungkin aku tak segera menghubungimu. Mungkin juga aku masih kuat demi wajibmu. Semua yang kau lakukan tidaklah salah bahkan itu sangat benar. Hanya andai kau bicarakan sejak awal, aku rasa itu jauh lebih baikkan hati. Ya sekarang aku lagi mampu menahan. Tapi jika nanti! aku belum tahu. Aku takut tak bisa mengubur salahmu dalam-dalam. Mengingat ingat hingga tak lagi ada harmonisnya kita, saat ini takutku dihantui ketakutan akut. Aku berontak. Tapi semakin ku berontak melawan akut semakin benci pula ku pada takutnya berontakan. otakku berkeling antara menahan dan mengingat. Dan sudah ku putuskan, ku memilih menahan untuk tak mengingat jadinya kehacuran. 

Berharap Kamu Segera Sembuh

Aku berada pada terikan panas ketakutan. Menyengat kuat setiap pikir tentang kejikaan. Aku tak tahu betapapun aku begitu tak berarti dalam jiwamu. Kerena apa yang tertunjukkan tak lagi sama dengan ucap janji lima November dua ribu tiga belas. Janji yang tersematkan penuh kestimewaan. Janji yang sempat terucap tegas bagaimana kau begitu mencintai, bagaimana kau begitu mengasihi. Namun semua telah terdustai. 
Kamu yang selalu menjanjikan temu tak lagi berujung temu. Kau yang menjanjikan rindu tak lagi rindu. Ya, karena alasan yang selalu kau sebut-sebut demi masa depanmu, masa depan kita. Masa dimana aku dan kamu berada dalam satu keadaan yang suci, bersih, tanpa noda dan dosa. Menjalin erat dengan dasaran cinta. 
Huhh, kurasa ini hanya impian terlalu tinggi tuk perempuan sepertiku.
Berbulan saja kau enggan menoleh apalagi bertahun? Entahlah, tak ada yang bisa ku jabarkan. Semua tingkahmu menutup rapat artinya kita. Segala lagumu menggulung kuat inginmu. Kau menyimpan rahasia yang seakan tak bisa ku ketahui. Aku menebak nebak tentang hal itu. Mencoba berpikir sendiri, mencari tahu sendiri. Namun akhirnya kandas yang terselipkan. Aku tak pernah berhasil menjawab tebakan yang kau ciptakan. Begitu sulit ku temukan makna dari semuanya.
Tuan, apa yang sedang terjadi dalam dirimu. Kenapa kau anggap aku seakan bualan yang harus kau muntahkan. Kau menyamaiku tak lebih dari duri pencekam hidupmu. Aku tak tahu lagi harus memerankan watak seperti siapa. Menjadikan diriku seperti bagaimana, aku tak tahu.
Tidakkah kau lihat betapa bersusah payahnya aku memerankan, betapa sulitnya aku menjadi mereka agar bisa kau sayang tulus-tulus, seperti apa yang mereka lakukan demi untuk kebahagiaan mereka. Tidakkah kau ingin sembuh dari rabun dekatmu? Yang begitu tega menggunjing perasaanku kuat-kuat. Mengasihi harap dengan menjadikan tunggu dan nanti yang tak berkunjungan. Tidakkah kau ingin sembuh? Lalu terbelalak dengan diriku yang selalu berharap kamu segera sembuh.
Tidakkah?

Dari seseorang yang selalu mengharap kamu segera sembuh
Perempuanmu.


Minggu, 01 Juni 2014

Jadinya Kata Kita

Sore sedang berisi harap.
Kau datang mengajakku jalan pada jalan lurus menyiku kota
Sembringahku mengenai hal itu
Bagaimana tidak, sudah lama ku rasakan getar berbeda dalam diriku.
Hanyaku tak mampu tuk benar mengatakan
            Mau kemana dik?
Sebut tanyamu membuka keheningan ramai.
            Kau menanyaiku ka? Aku tak tahu. Aku hanya ikut denganmu
**
Sampai pada lampu lintas kedua kami hanya berkeling dengan sekejap. Memutuskan tempat pada air penuh karang, Pantai? Ya benar.
Dengan suguhan 2 serutan buah kelapa kami bersama. Berbincang tentang hal ini dan itu hingga semuanya. Untuk apa? Ya tak lain bertujuan untuk lebih saling mengenal.
**
Matahari mulai bersembunyi. Suara desakan maghrib mulai terdengar.
Kami beranjak pulang menuju Alun kota, tempat ramai penuh manusia.
duduk pada 1 bangku panjang berukuran setengah meter.
            “Dik?”
            “Mmm?”jawabku mendengkur
            ” Sini. Liat sini! musuh bicaramu ada disini. Coba lihat aku”
Masyaallah, serasa terlempar syurga kesyahduan. Benarkah ini tuhan? Polos wajahnya hancurkan keresahan. Inikah bintang terindah dalam kehidupan?
**
            “hei, kenapa kau melamun dik?”
Ucapnya pecahkan suasana hening di tengah keramaian.
            “ah tidak tidak, iya kak? Ada apa?”
            “tidak, maukah kau jadi pacarku?”
Salah tingkah, gugup, antara senang dan takut. Specchless banget.
            “Kau tak lagi bercanda? Heiii, kita baru saja saling mengenal.”
            “Justru itu ku ingin mengenalmu lebih dalam dengan cara ini. Entah kenapa? Rasanya terlalu hina tuk jadi pengecut dalam percintaan. Aku tak bisa berlama lagi dik. Maukah?”
            “Aku tak tahu kak”
Jawaban terbohong yang pernah ku ucapkan ketika tak kuasanya ku tahan nyata.
            “Setidaknya ada jawaban. Kau merasakan getar itu?”
            “Ehem”
            “Ijinkan aku berteduh dalam dekapmu hari ini sampai nanti. Aku begitu ingin menjagamu. Ini bukan tentang perlombaan yang berujung kemenangan. Tapi ini hati dengan penuh pertanggungjawaban hati. Ku harap kau jaga setiaku dalam kejauhan nanti. Ku tunggu kau di kotaku.”
            “aku akan segera hadir di kotamu. Menyusulmu untuk kita. Menjalin asa penuh cita bersama. Aku mencintaimu”
            “Akupun,
            “tetaplah jadi kau yang tak pernah berubah untukmu. Aku menyayangimu setulus itu.”
Kau memandangku penuh harap. Memegang tanganku penuh ikhlas. Lalu mendekapku dengan penuh rasa. Aku mengerti kau sedang melepas kuatnya hati yang akan kau jaga. Membimbing hati tulus tak terpuji. 5 november 2013

Senin, 05 Mei 2014

Jarak

Aku tak mengerti, Suasana apa yang membahagiakan dalam bentang jarak ini? Keadaan apa yang menyenangkan dalam ratusan jalan ini? Aku tak  tahu. Rasanya hampir tak ada yang membahagiakan dan menyenangkan. Segalanya terjadi dengan penuh kepahitan. Menyimpan sabarnya keajaiban menjadi mukjizat suatu hubungan.
Aku tak lagi tahu.
Apa yang sedang kita harapkan dalam jauhnya diri selain mahal harga dari bermacam kejujuran dan kesetiaan. Apa yang kita pertahankan dalam jauhnya rindu yang tak kunjung terhentikan. Rasanya aku Lelah, Resah menggantungkan keharusan. Selalu menjadikan air mata sebagai ujung kepedihan. Aku ingin segera lepas, namun entah kenapa jarak ini tak membuatku lemah dengan segala rasaku. Malah membuatku kuat dengan keyakinan hati yang jelas bertolak belakang dengan arah logikaku. Mungkin benarnya karena aku selalu menggunakan rasaku di setiap pikirku. Menepiskan logikaku yang selalu tergesa-gesa ingin membuatku jatuh dan tenggelam.
Tapi disisi lain, apa iya aku tak salah memperjuangkan? Karena yang terlihat nyata tak benar benar nyata. Selebihnya tak jauh dari bayang bayang.
Mungkinkah aku yang mempertahankan tak pantas di pertahankan? Benarkah aku yang dihiraukan pantas di abaikan? Entahlah. Semakin lama aku semakin kuat menahan. Semakin jauh aku semakin kuat mempertahankan, tolong jelaskan ! apa yang membuatku masih ingin bertahan? Bagaimana kau menciptakan rasa hinggaku mampu menguat nguatkan rasaku yang semakin ingin bertahan.

Jarak, bantulah aku temui dia yang dalam diam merencanakan. Tunjukan arah tujuannya padaku. Aku sangat ingin berdiri di titik kejelasan. Dimana aku dapat mengangguk mengerti dengan arti kata yang ia katakan. 

Jumat, 11 April 2014

Jangan ciptakan Rindu

Tak banyak yang aku lihat di ruangku ini. Hanya sebuah sinar pancar dari arah depan yang melawan retina. Menunjuk tangan pada jentikan keyboard yang mengajakku bangkit dan menceritakan. Tentang kamu yang berlama-lama dengan hidupmu. Menjalin segalanya tanpa aku pasanganmu. Sungguh, ini hal yang tak pernah ingin kurasakan. Bagiku semua terjalin semacam air, selama apapun ia diatas ujungnya akan mengalir pada pusat bumi. Begitulah realitanya.
Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Semakin hari rasaku semakin menyelubung erat dengan dinginku. Ketakutanku semakin ada pada gulungan akut yang tiada hentinya. Sampai hari ini aku tetap tak mampu mengucap rindu yang selama ini ku abadikan. Aku semakin malu, aku semakin tak mampu. Jiwaku seakan rentan pada teriakan diam yang kau ciptakan. Membungkam kuatnya gigitan bibir yang begitu menyakitkan.
Aku tak bisa sayang, aku tak bisa menahan kuat rindu yang kau abadikan. Aku ingin kamu hadir, aku ingin segera bertemu kamu. Kesabaranku tlah berada di ujung pangkuanmu sayang. Mengertilah, aku selalu bertarung dengan egoku demi kamu. Berperang dengan rasaku untuk kamu. Apa kau tak pernah paham? Apa kau hanya memikirkan bahagiamu saja? Tanpa kau ingin tahu bagaimana aku yang sedang jauh dari sisimu. Seperti itukah?
Aku hanya tak ingin terus menelungkup kuat tangisku. Mencuri curi isakan yang setiap malam ku lakukan. Aku lelah ! AKU BENAR LELAH !
Apa kau tak mau lagi memperdulikan hasrat yang kau ciptakan? Apa kau sudah cukup bahagia dengan keadaan yang mengelilingimu disana? Lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan aku yang terus berdiri disini menunggu kamu. bagaimana dengan kedua kakiku yang semakin lama semakin ingin segera melangkah, bagaimana dengan tanganku yang juga ingin segera melambai untuk ku nyatakan selamat tinggal. TIDAK sayang ! aku tak mau menghianati ucapanku. Aku tak ingin menghargaimu dengan harga ucapan gombalku. Mataku tetap dengan pandangan yang sama. Hatiku juga tetap dengan arah yang sama. Tapi entah bagaimana rasamu disana, Aku tak tahu.
Sesekali kau hanya lewat dalam hembusan angin hirupku. Kau hanya berdiam sejenak lalu pergi lagi.
Sayang ! ku mohon pedulikan aku, Pedulikan kita.
Aku tahu waktumu sesibuk itu,
Tapi jika memang tak ada lagi waktu untuk kau berbagi, mengapa kau berhasil mengkaryakan rindu dalam rasaku. Tolong, pertanggung jawabkan kelakuanmu !
Jangan ciptakan rindu bila kau tak mau lagi merindu.

Rabu, 02 April 2014

Aku Tak Berguna

Sejak kemarin malam perasaanku tak nyaman, tidurku tak nyenyak. Itu karena kau yang selalu membayang dalam otakku. Hati dan pikiran selalu bertanya-tanya bagaimana keadaanmu disana. Selalu ingin menemuimu hingga ku tak mampu membendungnya.
Dan setelah ku baca status bbmmu ternyata benar, kau sedang dalam keadaan tak sehat. Suhu badanmu meninggi, suaramu berubah, kau seakan lemah, lesuh, dan berdiripun seolah tak mampu. Itu yang aku tangkap dari percakapan telepon tadi.
Sayang? Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau bisa selemah ini? Sudah ku katakan berulang ulang. Jaga kesehatanmu baik-baik, atur pola makanmu, jangan terlalu capai dengan semua aktivitasmu. Kenapa masih seperti ini?
Sayang, aku benar tak mampu memikirkanmu yang sedang berbaring sendirian, yang sedang menahan sakitnya sendirian. Aku ingin disana merawatmu, membelaimu, menyayangmu sampai kau sembuh. Aku iri pada dia yang kau sebut kakak perempuanmu. Aku iri dengannya ketika hanya dia yang berada disisimu. Aku iri dengannya yang berani beraninya menggantikan posisiku yang seharusnya bukan dia tapi aku. Aku IRI !
Tak ada yang bisa kulakukan selain menyesali diriku yang tak mampu menjadi wanita terbaikmu. Yang hanya bisa menahan rasa ingin memelukmu dalam kejauhan. Aku bodoh ! Aku tolol ! Aku tak berguna !
Sayang segeralah sembuh, aku tak bisa mengharap apapun selain kesembuhanmu. Segeralah bangkit, aku tak mau kau berlama-lama dengan rawatan wanita lain, Aku cemburu. Aku sakit tak menjadikanmu raja saat kau butuh.
Maafkan sayang, aku memang benar tak berguna. Aku jauh lebih berguna mereka yang dekat denganmu. Mereka yang dapat mengunjungimu dalam kesusahan ini.

Segeralah pulih sayang, aku menunggu kabar terbaikmu. 

Sabtu, 22 Maret 2014

Awan Bulan Bintang


Hey, saat ini kusedang melamunkanmu yang berada dalam kejauhan.
Bisakah kau lihat di atas hulumu?
Awan. Bulan. Bintang berejakan kalut asaku.
Malam ini awan begitu pekat, bulan begitu kuat, dan bintang terlalu kiat.
Engkau tahu? Dari pekat, kuat, hingga kiat mengandung makna terampuh untuk ku berbagi.
Awalnya dari awan pekat, awan pekat semacam awan kental, jenuh melindungi bumi dari kehancuran. Biarpun demikian, ia terus bertahan di tengah cintanya pada sang bumi.
Kedua, bulan begitu kuat
Bulan kuat itu bukankah karena matahari yang membantu memancarkan cahyanya. Ya, benar maka itu bumi selalu diam walau bulan dan matahari sedang bercekcok merebutkan cahyanya.
Ketiga, bintang terlalu kiat
Bintang terlalu kiat ialah ketikaku tak mampu lagi menalarkan imaji pada tulisanku, Namun tetap memaksaku mengendap pada endapan sepi yang meraung melawan egoisasi.
Dalam tulisan ini, aku hanya ingin segalanya bisa sesempurna seperti apa yang tuhan berikan. Pekat, kuat, hingga kiat menyatu menjadi satu. Walau perbedaan mengenyahkan persamaan, namun mereka tetap mampu hidup dengan penuh keselarasan.
Aku pikir ini akan menjadi satu alasan kita yang tak lagi berdekatan.
       Yang tak lagi berdiri di panggung yang sama, namun tetap menjalaninya dengan penuh tangguhan pertanggungjawaban.

Rabu, 12 Maret 2014

Penuh Paksa dan Keharusan

Ini tentang rintihan kekosongan harap yang lama terdambakan.
Menyulam erat pada hendak keharusan.
Yang  seakan hidup tlah terencanakan namun diri tak selalu mengiyakan hadirnya kerencanaan.
Inikah manusia dengan bermacam watak perilaku begundal? Rasanya benar.

Aku sampai tak bisa berpikir apa yang ada dalam setiap diri manusia.
Segalanya penuh paksaan dengan keharusan.
Tidak haruslah seperti itu. Bukankah semuanya tlah tertulis?

Aku juga tak habis pikir pada setiap insan yang hanya mendasarkan cinta pada tujuan hidupnya. Cinta? Itukah segalanya? TIDAK ! memang tidak salah jika hidup dengan harapan  jalinan cinta namun bukankah hanya seperempat bagian.

Berbicara tentang cinta yang tak kala pentingnya dengan kuatnya hidup dengan keimanan. Keduanya tepat berpegang erat dengan tujuan kehidupan. Yang dimana cinta membimbing keharibaan  dan iman yang akan meneruskan jalan nirwana kehidupan.

Tak perlulah haus akan keharusan. cukup jalani ikhlas likunya kehidupan. Syukur dengan penuh tak terhingga. Dan tunggu akhir hikmah dari macamnya perih kepedihan.

Selasa, 11 Maret 2014

Sapaan Malam


Apa yang engkau lakukan hari ini lelakiku? Sudah makankah? Sudah bebaskah? Atau Sudah lenyapkah? Oh tidak.. tidak ..
Ini hanya sapaan termagis yang ingin ku lontarkan untuk memulai bungkamnya.
Sebenarnya, aku hanya ingin membuka bibir ini untuk kukatakan “selamat malam lelakiku” dan harapanku kau menjawabnya dengan “selamat malam perempuanku”.
Enyah sekali, ini bagai bingkai menyawang dalam gudang. Terlalu suram untuk menjadi sebuah biang keladi kehidupan.
Dalam harapku,
Ku harap kau tak pernah lupa akan semua kewajiban dan tanggung jawabmu.         
Dan kali ini ku benar-benar ingin menyapamu lewat dunia riil.
Namun tetap ku lawan.
Ya, karena aku tau dalam kejauhan ini tak mungkin ku selami samudera penuh cagak berduri.
Maka itu, ku hanya bisa  merasukimu lewat bait demi bait tulisan acakku.
Ku lampiaskan isi otakku, mengalir pada kedua tanganku, dan terus membiarkannya mengalun pada kotak Qwerty tuk sebuah notulen pribadi.
Sebuah tulisan yang tak berkenaan dengan bagaimana kehidupan nanti.
Hanya berkenaan dengan lintasan hari yang kulalui –saat ini.
Lelakiku? Bisakah ku dekap bayang jauhmu? Aku rindu senyum lebarmu, aku ingin tahu sipit bola cahyamu kini.
Duhai lelakiku, aku benar ingin segera mengabaikan rindu yang kau abadikan.
Sudah terlalu sering aku menangkap puing dari keping-keping kerinduan.
Sudah lama aku titipkan kesabaran pada jejak lalu dan lalu.
Ini akhirnya, Lelakiku, Aku sangat merindukanmu. 

Kita Berbeda

1.     Seringkali aku jumpai tulisan jejaring sosialmu tentang artinya kehidupan. Dimana selalu ada cinta yang merindui setiap insan. Aku tak mengerti, ini sebuah kenyataan atau kepalsuan yang kau curahkan. Yang ku tahu semua hanya deretan kata yang tanpa ku mampu ku loncati maknanya. Aku selalu mengartikan setiap kata demi kata yang kau ucap, mengintip intip setiap kejadian yang kau lakukan. Aku kekasihmu ! bukan mereka yang dalam nyaman mencintaimu diam-diam. Bukan mereka yang yang menjadi stalkermu dalam diam. Hey boy, Aku kekasihmu. Lihatlah !
Pantaskah aku mengartikan kata kita, jika salah satu diantara kita tak lagi sama dengan apa yang telah di janjikan. Lalu, sebutan apa yang harus ku akui diantara aku dan kamu di depan mereka.
Aku benar tak habis pikir dengan hadirnya kita dalam kehdupanku. Aku selalu menyimpan kerahasiaan tentangmu yang berdiri kokoh dalam diriku. Entah kenapa aku begitu kuat menahan artinya kesakitan.
Aku mau tahu bagaimana kamu bisa bebas melepas rasa yang kau ciptakan sendiri, aku ingin tahu bagaimana kamu berakting di depan mereka yang ada di sekitarmu. Dimana kamu mampu memberi pesona dalam jatuhnya mereka.
Aku siapa? Kamu siapa? Entahh ..
Kamu yang dulu selalu menjadikanku yang nomor satu kini lenyap di telan ombaknya air kelautan. Kamu yang selalu memberi kabar kini tak pernah ada baliknya. Kamu yang selalu memberi perhatian, kini mengirim pesan singkatpun tidak.
Hey, sayang, aku lelah berlama-lama menunggu 3 kata manis dalam otakku. Dimana dulu kau begitu lancarnya mengatakan i love you.
kau tahu bukan bahwa selalu ku gantungkan rasaku dalam dirimu. Sampai aku tak pernah mengira bahwa kita telah berbeda, bahwa kita tak lagi sama. Kamu yang dalam diam merencanakan, dan aku dalam keramaian tetap mempertahankan. Tak pantaskah aku meneriakimu dengan segala apa yang kurasa. Apakah ini bukan tuntutan seorang perempuan yang rela bersakit sakit demi adanya suatu hubungan. Entahlah ..
Apa yang terjadi lelakiku? Benarkah sudah tiada aku dalam bahagiamu. Benarkah ada aku dalam rencanamu? Ku mohon jelaskan jika kita benar berbeda.
Jika aku bukanlah bagian dari mereka yang penuh kesempurnaan di matamu. Jika aku bukan perempuan yang bisa tegar seperti mereka. Jelaskan lelakiku !


Senin, 10 Maret 2014

Cinta Tak Berargumen

Jangan kau tanya argumenku mencintaimu.
Aku tak pernah punya alasan tuk katakan sebab dan karena.
Aku tak pernah tau tentang makna dari harap, ingin sampai hendak.
Yang ku tahu hanya rasa yang semakin lama semakin menyengat dunia nyata.
Sampai terlintas untuk ku tanyakan.
Apa itu cinta kasih?
Sampai tak terkecuali ku lakukan pertanyaan itu setiap hari, setap detik, dan setiap waktu.
Jawaban pertanyaan simple itu selalu berlalu lalang menjelma kesempurnaan.
Namun aku belum juga mengerti.
Semua seolah hadir di tengah kupu bunga keindahan.
Mengayup ribuan madu tak terhinggakan.
Dan tahukah engkau kasih?
Bahwaku merasakan rasa terabadi didalammu.
Menikam kuat pada setiap bulir senyummu.
Entah,
Ini atau itu arti mencintai.
Karena realita yang ku tau semua sama dengan kembang dan kempisnya dada.
Menyatu dalam sedih hingga bahagia. 

Alasan Waktu


Pagi yang berembun penuh pekat dimatanya.
Siang yang panas mengganggu istirahatnya.
Sore yang mengembang selalu menjauhkan untuk menyapanya.
Dan malam yang larut tak tega ku goyahkan mimpi mimpi indahnya.
Kenapa?
Waktu seakan tak pernah berpihak untuk ku tanyakan.
Tahukah engkau waktu?
Bahwa aku tak pernah bisa untuk tak menanyakan bagaimana ia disana.
Tak pernah jenuh lalui hari tanpa ia.
Dan tak pernah bosan menantikan hadir senyum bahagianya.
Juga tahukah engkau waktu?
Aku disini sedang mengisyaratkan hati dengan bermacam problema.
Melagukan rasa dengan bermacam luka.
Masi ragukah wahai engkau waktu?
Hingga begitu tega kau memberdayaku menapaktilasi dunia ini dengan angin berhamburan.
Bukan ku lelah.
Bukan ku tak mau.
Hanya saja, ini tak adil tuk ku arungi.
Terlalu dramatis tuk kuhadapi.
Duhai waktu, lelucon apa yang engkau siapkan?
Ku minta jangan bocorkan hari ini.
Aku belum siap menelannya saat ini.
Aku benar benar ingin melampauinya kali ini.
Tolonglah waktu, aku hanya tak ingin benar ia menapaki hati yang salah.
Hanya itu, harap dan pintaku.

Kekuasaan

Redup angkupnya menyalahkan kesalahan.
Meneruskan pijakan pada setiap goa kehidupan.                                                                         
Tuhan telah menawarkan hidup dengan kegelapan.
Menjanjikan cahaya kehausan menelungkup teguh dalam anggukan.
Memang benar, bukan terang lilin yang selalu mendera,
Bukan juga gelap dalam kenestapaan jawabnya.
Tapi kesempatan baru untuk menjadi kecil dalam semestanya.
Menjadi besar dalam catatan kanannya.
Mungkin akan sama dengan buah yang mengait pada pohonnya, menggantungkan kesabaran dan syukuran.
Syukuran akan bemaknanya arti dari setiap detak gumpal yang menguasai alurnya, kesabaran yang selalu setia menerka cobaan keharusan hidupnya.
Aku tau ya rabb, aku sadar, siapalah aku?
Bukankah hanya manusia abu yang ingin meluruhkan noda dalam tangisku, membuntutinya dengan hadapan harapku.
Yaa Rabbi, ku sangat menyadari manusia hanyalah semut kutuk-MU.
Kumohon relakanlah secercah ridho manusia-MU, ikhlaskanlah sebutir syafaat nabi           pilihan-MU.

Minggu, 09 Maret 2014

Titik Kesimpulan

Inilah sebuah titik dari kesekian kata yang kamu rangkai.
Yang lama membiru dan akhirnya berabu.
Awal yan kecil, akhir yang besar.
Seperti bulan dari membuihnya bumi, seasap bintang dari picauan api.
Berjalan mengejar keharuan, berlari mengejar hinaan.

Tak inginkah kau keluar dari tabirnya kehidupan? Mengubah catatan beralaskan mereka yang menengadahkan keinginan.

Jumat, 28 Februari 2014

Perpisahan


365 hari berlangsung begitu singkat
Sehari serasa sejam
Sejam serasa sedetik
            Indah berbelah
            Bahagia terpecah
            Suka berduka, Beradu dalam kebersamaan asa
Mungkin dengan sehelai garisan tinta suci ini
Kami mengucap seucap tanda terima kasih
            Terimakasih atas segala ilmu yang engkau beri
            Terimakasih tlah mau menjadi ibu kedua unuk kami
            Terimakasih tlah membimbing dan menuntun kami
Maaf jikala perbuatan dan tingkah laku kami di luar batas kesadaran kami
            Membuat ibu resah
            Membuat ibu marah
            Membuat ibu kecewa
            Dan bahkan membuat ibu menangis
Entah itu sebuah kekhilafan atau hal yang di rencanakan
Yang kami harap hanya taburan keikhlasan ibu memaafkan kesalahan kami