16:40
di Jumat sore. Hari yang ingin kujadikan lampiasan atas kejenuhan. Laut yang
menjadi tontonan untuk segera ku tanyakan. Hey,
apa yang terjadi? Begitu bodohnya aku lontarkan suara keras-keras. Dengan
sadarnya aku langsungkan jeritan dengan pita suara kuat-kuat. Namun tetap saja,
lemah yang terlihat adalah kuat. Lelah yang terlihat adalah tegar. Benar ku tak
pahami kondisi apa yang terjadi pada diriku sore itu. Aku merasa lelaki
berpakaian kotak itu bukan kamu. Tentu saja aku tak berpikir panjang tentang
keberadaannya. Tapi ketika dua langkah
ku lalui, lelaki itu seakan menolehkan leherku untuk melihatnya lagi. Dan
ketika aku mencoba dekat, mendekat dan lebih dekat, tidak salah lagi. Lekukan
dari ujung hulu sampai hilir adalah sosokmu. Namun entah seketika kau
mengangguk pelan kepalamu, aku lebih merasa ini bukan kamu. Tentu saja aku
kembali ragu untuk menghampirimu. Dan ternyata langkah, demi langkahku semakin
maju. Debar hati dan getaran diri semakin tak mampu ku lepaskan. Semua
bercampur dengan ketakutan yang selama ini ku ciptakan. Percakapan yang mulai
kaku, gerak gerik yang mulai tak padu menjelaskan kita yang tak sayu. Adakah yang salah? Dengan tegaspun aku
menjawab TIDAK ! dengan lantangnya kau menjawab ADA ! Seperti gerak refleks aku
menggelengkan kepala. Semacam silia berapi kau mengiyakan. Tuan, duri macam apa
yang merasuki kepalamu? Hingga aku yang menunggu di titik tunggu mendapatkan
suasana yang seharusnya tak patut ku dapatkan. Tidakkah kau ragu akan keputusan
bulat yang kau rancang indah itu? Memilih hidupmu sendiri demi untuk kesenangan
dan masa depanmu seorang diri. Tidakkah kau ingin semangat dariku dan mereka yang selalu mendorongmu untuk
bahagiamu. Jujur, aku padam kau perlakukan seperti ini. Aku tak bisa berkata
apapun lagi. Aku menyerah !
Ku
harap kau segera menyadari, betapa inginnya aku ikut bersusah payah demi masa
depanmu.