Kamis, 22 Januari 2015

Jumat Sore Aku Menyerah

16:40 di Jumat sore. Hari yang ingin kujadikan lampiasan atas kejenuhan. Laut yang menjadi tontonan untuk segera ku tanyakan. Hey, apa yang terjadi? Begitu bodohnya aku lontarkan suara keras-keras. Dengan sadarnya aku langsungkan jeritan dengan pita suara kuat-kuat. Namun tetap saja, lemah yang terlihat adalah kuat. Lelah yang terlihat adalah tegar. Benar ku tak pahami kondisi apa yang terjadi pada diriku sore itu. Aku merasa lelaki berpakaian kotak itu bukan kamu. Tentu saja aku tak berpikir panjang tentang keberadaannya.  Tapi ketika dua langkah ku lalui, lelaki itu seakan menolehkan leherku untuk melihatnya lagi. Dan ketika aku mencoba dekat, mendekat dan lebih dekat, tidak salah lagi. Lekukan dari ujung hulu sampai hilir adalah sosokmu. Namun entah seketika kau mengangguk pelan kepalamu, aku lebih merasa ini bukan kamu. Tentu saja aku kembali ragu untuk menghampirimu. Dan ternyata langkah, demi langkahku semakin maju. Debar hati dan getaran diri semakin tak mampu ku lepaskan. Semua bercampur dengan ketakutan yang selama ini ku ciptakan. Percakapan yang mulai kaku, gerak gerik yang mulai tak padu menjelaskan kita yang tak sayu. Adakah yang salah? Dengan tegaspun aku menjawab TIDAK ! dengan lantangnya kau menjawab ADA ! Seperti gerak refleks aku menggelengkan kepala. Semacam silia berapi kau mengiyakan. Tuan, duri macam apa yang merasuki kepalamu? Hingga aku yang menunggu di titik tunggu mendapatkan suasana yang seharusnya tak patut ku dapatkan. Tidakkah kau ragu akan keputusan bulat yang kau rancang indah itu? Memilih hidupmu sendiri demi untuk kesenangan dan masa depanmu seorang diri. Tidakkah kau ingin semangat dariku  dan mereka yang selalu mendorongmu untuk bahagiamu. Jujur, aku padam kau perlakukan seperti ini. Aku tak bisa berkata apapun lagi. Aku menyerah !

Ku harap kau segera menyadari, betapa inginnya aku ikut bersusah payah demi masa depanmu.

Jumat, 16 Januari 2015

Tentang Cita

Mengenai senja berkabut tanya.
Sejak itu ku duduk menghadap dahi kerut seorang ibu.
Menyampingi ayah yang bersedutan asap rokok.
Kami sedang melakukan perbincangan tawa tentang keberadaan.
            ..
Di tengah tawa berkelanjutan, aku sibuk memikirkan langkah nanti tuk menjadi.
Hingga ku potong kata yang terucap dari bibir kelu seorang ibu.

Bu, langkah mana yang harus saya pilih? Saya bingung.
Pertanyaan mulut kecil yang mengandung tanya untuk di tanggapi.

“Maksudmu? Langkah untuk maju nak?”
“Benar bu, saya benar haus akan motivasi. Semua yang saya ingin seakan tak bisa saya ciptakan sendiri.”
“Apa yang sedang kau pikirkan ?”
“Saya hanya takut menghadapi langkah nanti.”
“kenapa mesti kau takuti?”
“Saya takut nanti tak bisa berikan yang terbaik untuk ayah dan ibu. Seperti yang ibu tahu,kemampuan yang saya miliki hanya sebatas ini.“
“Janganlah kau merendahkan dirimu sendiri. rendah dirimu tak serendah air yang mengalir nak. Kau punya kelebihan. Percayalah!”
“Saat ini saja saya belum tau dimana letak kelebihan diri saya sendiri.”
“Ibu tau, kau belum temukan jati dirimu. Tapi ibu minta hindari keputusasaanmu. Karena itu akan jadi benalu untukmu nak. Ibu mengerti kau sedang bingung menentukan arah jalanmu nanti. Namun, tak seharusnya itu kau ciptakan hari ini. Bukankah perjalananmu masih jauh”
“tapi jika semua tak terpikirkan saat ini. Lalu bagaimana nanti?”
“Hmm”
Dahi semakin mengkerut menandakan beliau mengerti maksud dari apa yang ku bicarakan.
“Jangan kau pikir rendahmu hanya milikmu sendiri. Bukankah justru dari rendahmu itu yang bisa membuatmu bangkit?”
Suara wibawa seorag ayah menyautkan
“Aku tak ...”
Belum sempat ku jawab beliau mendesakkan kalimat kembali-_-
“Yakinlah pada apa yang kau miliki. Tak perlu tergesa-gesa menafsirkan apa langkahmu nanti. Itu sama saja kau sedang berniat untuk mendahului takdirmu. Itu tak baik nak.”
“Tapi yah? Kekuatan saya seakan melemah seketika. ketika tahu bagaimana sulitnya menjalani hari nanti.”
“Sudahlah, buang lemahmu hari ini juga. Kau tak membutuhkan apa apa, cukup mempersiapkan diri dari saat ini. Mempergiat kewajibanmu dan selalu berdoa untuk  kenyamananmu.”
“Tapi seandainya..”
“Jangan pernah berhenti berandai, karena dari andai kau akan semakin tahu bagaimana sulitnya seorang pemenang. Dan jangan pernah bertapi, karena tapi tak pernah menyelesaikan apa yang kau cari. Selalulah bermimpi dengan asapan sampah,  biarpun tak sedap, ia tetap terhirup. Biarpun tak ada yang butuh ia tetap dibutuhkan.”
“ Ayah”
..
Kuatku dari mereka yang setia memupuk punggung lemahku.
Terimakasih ayah ibu. 

Sabtu, 10 Januari 2015

Apa yang Kau Anggap Salah

Seketika aku terbangun dalam tidurku. Saat itu aku menarik ulur tanganku untuk menghapus segala digdaya dalam hidupku. Kau kekasihku, benarkah? Tentu benar.
Dan ini realita, bukan lagi mimpi yang meninggi diatas harap. Kenapa kau begitu enggan melampiaskan kahidupanmu? Kau begitu takut berbagi sedikit tentang napasmu. Hey tuan, apa benar kau sedang bersama orang yg salah? Ku rasa iya benar bagimu. Kau berada ditengah jalinan liku yg menurutmu tak pantas untuk kau hidupi? Ya benar menurutumu.
Lalu apa yg kau anggap salah? Apa yg kau anggap tidak sehinggaku mampu menebak arti kelukaan yg tak pantas kurasakan.
Kupikir ini terlalu sering ku tanyakan.
Kurasa ini sudah terlalu pahit ku ucapkan. ini semacam getaran dalam arti kita yang tak lagi bersandingan mesra. Mencabuti segala rasa hingga ujung luka. Mencabik cabik hati hingga duka. Oh tuan, beraninya kau meninggalkan isap tangis tak berujungan. Membiarkanku menjerit meronta pahitnya keadaan.
Siapa yg bisa menahan jika bukan diri, siapa yg mau bertahan kalau bukan hati.
Terimakasih telah mengajariku mengobati luka sendirian. Terimakasih tlah merawatku hinggaku terlihat begitu tegar dalam segala keadaan. Terimakasih.

Kau memang manusia sempurna. Mampu menanamkan luka hingga duka. Menciptakan sedih hingga bahagia. Sekali lagi ku ucapkan terimakasih.
Jika rasa diciptakan oleh manusia, mungkin aku tak sekuat ini. Mungkin aku juga tlah lama jatuh dalam rangkulan orang orang bahagia. Tapi aku tak berpikiran sejauh itu. Tentang baik dan buruk aku tak pernah tau, yang jelas aku ingin menikmatinya sekuat rasaku. Sedalam inginku menerima segala cobaan.

Dariku yang menganggap akan ada yang salah.