Dulu
semenjak hadirnya pintu yang terbuka lebar, kau menjadikan pintu itu sebagai
pintu menuju kebahagiaan.
Kala
itu semenjak ruang yang tersebar luas kau selalu mengisinya dengan berbagai
macam gelikan kenyamanan.
Nyaman
dalam keseharian, ke setiap putaran jam, bahkan pada ke setiap detik menitan.
Ucap yang selalu terucap penuh kehormatan, selalu kau lakukan. Namun entah,
semenjak kau kembali ke kotamu semua menjadi hambar terbiusi waktu.
Waktu
yang selalu kau percantik, waktu yang selalu kau buat unik, menjadi keras bak
keramik bebatuan. Manja yang terlihat dulu kau begitu manja, sekarang
memanjakan dirimu sendiripun sepertinya aku tak melihatnya lagi. Janji yang
meyakinkan diri menjadi satu-satunya dari milyaran insan rasanya pun telah
memudar kembali. Bagaimana ini bisa terjadi? Kejadian demi kejadian yang
menolak belakangi kemampuan diri. Menertawakan hati pada setiap harap yang terlangkahi.
Salahkah jika aku menjadi mimpi dari setiap nyata yang kau hidupi? Bukankah kau
yang memaksakan diri untuk tetap bertahan pada setiap lumpur yang mereka
taburi? Ya, aku tahu itu dulu. Dulu semenjak waktu belum sekeruh hari ini. Dulu
seketika kau menyampingi diri dengan hangatnya peluh kasihmu. Aku sadari itu
dulu. Tapi kau tahu bukan, semua yang ku sebut-sebut dulu itu kau yang ciptakan
sendiri. Kau yang melakukannya sendiri. Aku mengerti, bahwa hidup diantara
mereka yang jauh lebih baik dari apa yang kita miliki itu tidaklah mudah.
Akupun juga menyadari, jikala kita di kondisikan dalam keadaan yang begitu
memaksakan diri untuk melupakan apa yang harus kita pedulikan itu begitu mudah kita
laksanakan. Namun setidaknya kau juga harus memahami, bahwa dalam sibuknya
rutinitas, dalam sempurnanya bermacam makhluk dunia,semua masih erat
hubungannya dengan dasar pada apa yang kau ingin lakukan. Ingatkah kau ketika
kau ucap “Aku tak ingin main-main. Kau harus sabar disini, aku akan pulang !
aku pasti pulang. Jagalah janji setiaku dalam kejauhan nanti. Aku menunggu
kita.” Tak ingatkah kau dengan suara
lantang pada masa itu? Tak ingatkah? Untuk
kata yang terucap ingkar, aku tak menyangka. Untuk janji yang kau sematkan
dengan dusta, aku tak pernah mengira.