Kamis, 27 November 2014

Aku tak mengira

Dulu semenjak hadirnya pintu yang terbuka lebar, kau menjadikan pintu itu sebagai pintu menuju kebahagiaan.
Kala itu semenjak ruang yang tersebar luas kau selalu mengisinya dengan berbagai macam gelikan kenyamanan.
Nyaman dalam keseharian, ke setiap putaran jam, bahkan pada ke setiap detik menitan. Ucap yang selalu terucap penuh kehormatan, selalu kau lakukan. Namun entah, semenjak kau kembali ke kotamu semua menjadi hambar terbiusi waktu.

Waktu yang selalu kau percantik, waktu yang selalu kau buat unik, menjadi keras bak keramik bebatuan. Manja yang terlihat dulu kau begitu manja, sekarang memanjakan dirimu sendiripun sepertinya aku tak melihatnya lagi. Janji yang meyakinkan diri menjadi satu-satunya dari milyaran insan rasanya pun telah memudar kembali. Bagaimana ini bisa terjadi? Kejadian demi kejadian yang menolak belakangi kemampuan diri. Menertawakan hati pada setiap harap yang terlangkahi. Salahkah jika aku menjadi mimpi dari setiap nyata yang kau hidupi? Bukankah kau yang memaksakan diri untuk tetap bertahan pada setiap lumpur yang mereka taburi? Ya, aku tahu itu dulu. Dulu semenjak waktu belum sekeruh hari ini. Dulu seketika kau menyampingi diri dengan hangatnya peluh kasihmu. Aku sadari itu dulu. Tapi kau tahu bukan, semua yang ku sebut-sebut dulu itu kau yang ciptakan sendiri. Kau yang melakukannya sendiri. Aku mengerti, bahwa hidup diantara mereka yang jauh lebih baik dari apa yang kita miliki itu tidaklah mudah. Akupun juga menyadari, jikala kita di kondisikan dalam keadaan yang begitu memaksakan diri untuk melupakan apa yang harus kita pedulikan itu begitu mudah kita laksanakan. Namun setidaknya kau juga harus memahami, bahwa dalam sibuknya rutinitas, dalam sempurnanya bermacam makhluk dunia,semua masih erat hubungannya dengan dasar pada apa yang kau ingin lakukan. Ingatkah kau ketika kau ucap “Aku tak ingin main-main. Kau harus sabar disini, aku akan pulang ! aku pasti pulang. Jagalah janji setiaku dalam kejauhan nanti. Aku menunggu kita.”  Tak ingatkah kau dengan suara lantang pada  masa itu? Tak ingatkah? Untuk kata yang terucap ingkar, aku tak menyangka. Untuk janji yang kau sematkan dengan dusta, aku tak pernah mengira.

Jumat, 21 November 2014

Tak Ikhlasnya Keputusan

Diary ..
Aku tak tahu harus memulai cerita darimana. Yang selalu ku ingat, sejak itu tanggal bulan ke tiga  lebih 3 hari dari 5 november 2013. Tepatnya sabtu malam. Aku dan nya bertemu di tempat luasan air.

Aku dan nya seakan orang yang tak pernah saling mengenal. Sama menatap namun pandangan seolah sedang mencuri keasingan. Merasa asing dengan kata kita. Kau benar diary.

Sesekali mata saling berhadapan, Dehem kecut yang ia ciptakan kali ini.
Aku tak mampu menahan gigitan debar hati dalam rasaku. Aku berusaha melemparkan suasana kacau pada desikan angin siup. Begitu juga dia. Dia menjauhkan suasana terencanakannya dengan penuh rasa tak bersalah.

“Lihat aku !“ suruan bengis yang ia minta padaku. Namun aku tetap tak berani melihat matanya yang penuh rencana.
“Aku ingin sendiri”
Kalimat singkat dari suara kebal seorang lelaki yang mengaku cinta. Awalnya, benar ku tak tahu arti sikap dinginnya pada akhir ini. Aku selalu menebak-nebak kejadian teromantis yang akan dia ciptakan hari ini, namun  kenapa ini terasa begitu menyakitkan.
**
“itu baik untukmu?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“aku tak tahu ini baik atau tidak. Yang jelas untuk saat ini, ini baik untukku.” Tatapan kilas dari mata penuh harapnya.
Jujur, aku mulai tak mengerti setiap kata yang ia ucapkan. Hingga akhirnya pertanyaan tak terduga aku tanyakan “itu berarti?”
“Kita putus”
suara pelan dengan arti yang tak sederhana. Menaruh gelengan kepala yang secara tegas berkata tidak. Namun jelas kau telah memaksa tangan untuk tetap berlambai. Menunjuk tepik untuk segera berbalik dan menghilang.
Bagaimana bisa? seorang yang begitu benci melihat perempuannya menangis justru menjadi penyebab utama mengapa perempuan itu menangis. Bukankah ini sangat lucu diary?  Entahlah L

Jumat, 14 November 2014

Alasan

1.      Aku senang kau memberi kejelasan. Setidaknya aku sudah mengetahui sibukmu menjauhiku. Andai kau katakan semuanya sejak awal. sejak hati sedang mengira ira apa yang kau lakukan. Mungkin aku tak segera menghubungimu. Mungkin juga aku masih kuat demi wajibmu. Semua yang kau lakukan tidaklah salah bahkan itu sangat benar. Hanya andai kau bicarakan sejak awal, aku rasa itu jauh lebih baikkan hati. Ya sekarang aku lagi mampu menahan. Tapi jika nanti! aku belum tahu. Aku takut tak bisa mengubur salahmu dalam-dalam. Mengingat ingat hingga tak lagi ada harmonisnya kita, saat ini takutku dihantui ketakutan akut. Aku berontak. Tapi semakin ku berontak melawan akut semakin benci pula ku pada takutnya berontakan. otakku berkeling antara menahan dan mengingat. Dan sudah ku putuskan, ku memilih menahan untuk tak mengingat jadinya kehacuran. 

Berharap Kamu Segera Sembuh

Aku berada pada terikan panas ketakutan. Menyengat kuat setiap pikir tentang kejikaan. Aku tak tahu betapapun aku begitu tak berarti dalam jiwamu. Kerena apa yang tertunjukkan tak lagi sama dengan ucap janji lima November dua ribu tiga belas. Janji yang tersematkan penuh kestimewaan. Janji yang sempat terucap tegas bagaimana kau begitu mencintai, bagaimana kau begitu mengasihi. Namun semua telah terdustai. 
Kamu yang selalu menjanjikan temu tak lagi berujung temu. Kau yang menjanjikan rindu tak lagi rindu. Ya, karena alasan yang selalu kau sebut-sebut demi masa depanmu, masa depan kita. Masa dimana aku dan kamu berada dalam satu keadaan yang suci, bersih, tanpa noda dan dosa. Menjalin erat dengan dasaran cinta. 
Huhh, kurasa ini hanya impian terlalu tinggi tuk perempuan sepertiku.
Berbulan saja kau enggan menoleh apalagi bertahun? Entahlah, tak ada yang bisa ku jabarkan. Semua tingkahmu menutup rapat artinya kita. Segala lagumu menggulung kuat inginmu. Kau menyimpan rahasia yang seakan tak bisa ku ketahui. Aku menebak nebak tentang hal itu. Mencoba berpikir sendiri, mencari tahu sendiri. Namun akhirnya kandas yang terselipkan. Aku tak pernah berhasil menjawab tebakan yang kau ciptakan. Begitu sulit ku temukan makna dari semuanya.
Tuan, apa yang sedang terjadi dalam dirimu. Kenapa kau anggap aku seakan bualan yang harus kau muntahkan. Kau menyamaiku tak lebih dari duri pencekam hidupmu. Aku tak tahu lagi harus memerankan watak seperti siapa. Menjadikan diriku seperti bagaimana, aku tak tahu.
Tidakkah kau lihat betapa bersusah payahnya aku memerankan, betapa sulitnya aku menjadi mereka agar bisa kau sayang tulus-tulus, seperti apa yang mereka lakukan demi untuk kebahagiaan mereka. Tidakkah kau ingin sembuh dari rabun dekatmu? Yang begitu tega menggunjing perasaanku kuat-kuat. Mengasihi harap dengan menjadikan tunggu dan nanti yang tak berkunjungan. Tidakkah kau ingin sembuh? Lalu terbelalak dengan diriku yang selalu berharap kamu segera sembuh.
Tidakkah?

Dari seseorang yang selalu mengharap kamu segera sembuh
Perempuanmu.